04 September 2016

AGAMA DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT

Agama merupakan sesuatu yang teramat penting dan mendasar dalam kehidupan manusia. Emile Durkheim mengatakan bahwa agama merupakan sebuah sistem yang terpadu dari kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral. Sakral sendiri mengacu kepada hal-hal yang supranatural, istilah yang membedakannya dengan hal-hal yang profane atau duniawi. Akan tetapi, terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa agama justru diterima hanya secara taken for granted oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jarang ada yang mengkritisi agama, baik masyarakat di tingkat awam maupun akademisi. Selanjutnya, sosialisasi mengenai agama hanya sebatas pengertian agama sebagai suatu produk yang memuat serangkaian  hal yang menyangkut nilai-nilai, aturan-aturan, tata-cara, upacara/ritual, dan lain sebagainya yang harus dituruti (Kusumadewi, 2015). Celakanya, kurangnya pembahasan tentang agama ini membuat timbulnya benih-benih konflik yang dimulai dari ketidakpahaman tentang nilai agama. Kurangnya pemahaman yang ditambah dorongan kepentingan sempit dan sesaat kalangan tertentu, serta lemahnya penegakan hukum, pada akhirnya timbullah konflik horizontal yang tak jarang memakan korban. Misalnya, konflik di Tanjung Balai beberapa waktu yang lalu.

Agama sendiri sebenarnya dapat ditinjau lebih luas sebagai (1) agent of change, (2) fasilitas pendukung, dan (3) sebagai sebuah wacana. Pertama, agama sebagai agent of change menjelaskan bahwa keberadaan sebuah agama pasti memiliki dampak di masyarakat. Lalu, agama semestinya melakukan adaptasi guna membaca peluang dan kendala yang ditimbulkan oleh perubahan di masyarakat tersebut. Sudah menjadi kesadaran bersama bahwa agama semestinya mendatangkan tranformasi atau perubahan sosial yang baik di masyarakat melalui dampak-dampak kehadirannya. Sebagai contoh adalah adanya kewajiban haji dalam masyarakat Islam yang menurut Fajar Kurnianto dalam sebuah opininya di surat kabar ialah sebuah proses manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya. Selain itu, dalam rangkaian ibadah haji sendiri memiliki banyak simbol-simbol yang menjadi petanda perlawanan terhadap kebatilan, simbol kesetaraan antarmanusia, serta simbol penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sudah semestinya nilai agama yang tertuang dalam haji ini menjadi sarana mengubah (tranformasi) kondisi sosial yang ada selama ini menjadi lebih baik. Jadi, kebaikan orang yang berhaji tak berhenti pada individu itu sendiri (Kurnianto, 1 September 2016).

Kedua, maksud agama sebagai fasilitas pendukung adalah peran agama yang dikonsepsikan dapat mempermudah suatu masyarakat dalam mencapai tujuan. Tentu saja tujuan umum di dalam masyarkat adalah adanya kebebasan, keadilan, pendidikan yang baik, kesehatan yang baik, dan lain sebagainya. Peran agama sebenarnya sangat strategis, misalnya nilai agama tentang silaturahmi. Silaturahim ini memiliki manfaat yang beragam, menurut Prof. Din Syamsuddin, seorang petinggi Muhammadiyah, silaturahmi dapat memperpanjang usia, memperlancar rezeki, serta membuat masyarakat semakin utuh dan indah dalam melangsungkan kehidupan bersama (Syamsuddin, 2014). Apalagi jika silaturahmi tersebut dikemas dalam acara yang menarik dan bernuansa positif, semisal dalam pameran seni yang mengusung tema tentang silaturahmi itu sendiri.

Terakhir, agama sebagai sebuah wacana. Wacana atau dalam istilah lain disebut sebagai diskursus ini mengarah pada pembentukan opini masyarakat yang dimulai dari interaksi pendapat antar-warga atau teks-teks yang beredar seputar agama. Melalui pembentukan opini yang baik inilah masyarakat akan semakin terbuka dan semakin luas pemikirannya, baik tentang agama maupun agama dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain. Supaya menghasilkan proses diskursus yang baik, seyogyanya perlu dibuat ranah-ranah public yang berimbang. Ranah public yang tidak didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, entah dari Negara, LSM, atau pihak swasta (Hardiman, 2009). Supaya efektif dalam mengupayakan wacana seputar agama di masyarakat, maka diperlukan peran serta pemimpin dari berbagai macam tingkatan dan lintas sektoral guna memotivasi masyarakatnya berpikir kritis tentang agama sebagai salah satu upaya pembangunan masyarakat (Usman, 2015).


Daftar Pustaka:

Hardiman, F. B. (2009). Demokrasi Deliberatif. D.I.Yogyakarta: Kanisius.
Kurnianto, F. (1 September 2016). Spirit Transformasi Haji. Jakarta: Kompas.
Kusumadewi, L. R. (2015). Relasi Sosial Antar Kelompok Agama. In P. Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia (pp. 129-131). Jakarta: UI Press.
Syamsuddin, D. (2014). Muhammadiyah untuk Semua. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Usman, S. (2015). Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

15 November 2015

LPJ dan Musyawarah Pemilihan Ketua Remasnur Periode 2015-2017


Assalamu'alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil'alamin.
Apa kabar Ikhwan dan Akhwat? semoga selalu dalam lindungan-Nya. Kemarin pada tanggal 8 November 2015, alhamdulillah Pengurus Remasnur Periode 2012-2014 melaksanakan Laporan Pertanggung Jawaban yang telah disetujui oleh Bapak Ibu Takmir Masjid An-Nur Mangiran. Tidak hanya itu, setelah melaksanakan Laporan Pertanggung Jawaban, dilanjutkan dengan Musyawarah Pemilihan Ketua Remasnur Periode 2015 sampai 2017. Kandidatnya terdiri dari 3 orang muka lama yaitu Ichsan Rachmanto, Dimas Wisnu Ashari dan Fahrurozi Kurniawan. Dan alhamdulillah hasil musyawarah menempatkan Dimas Wisnu Ashari sebagai ujung tombak Remasnur, kemudian diikuti dibelakangnya Fahrurozi Kurniawan sebagai Ketua 1 dan Ichsan Rachmanto sebagai ketua 2. Semoga dengan kepengurusan ini Remasnur menjadi semakin maju dan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Sekian Ikhwan dan Akhwat sepatah kata dari saya. Bila ada salah mohon dimaafkan. Jangan dipendam dalam hati, pendam dalam tanah kalau sudah waktunya. Akhirul Kalam
Wassamu'alaikum Wr Wb